Serangan COVID-19 rupanya tak hanya mengincar paru-paru, tetapi juga mengintai otak kita. Penelitian terbaru nan dipublikasikan dalam jurnal kedokteran bergengsi, New England Journal of Medicine (NEJM), mengungkap kebenaran mengejutkan: jangkitan COVID-19 bisa mengakibatkan kerusakan otak jangka panjang, termasuk penurunan IQ nan signifikan.
Dua studi dalam NEJM, seperti nan dilansir The Conversation, menguliti keahlian kognitif seperti memori, perencanaan, dan penalaran spasial pada nyaris 113.000 orang nan pernah terinfeksi COVID-19. Hasilnya?
Mencengangkan! Para penyintas COVID-19 menunjukkan defisit nan nyata dalam memori dan keahlian tugas pelaksana - keahlian otak untuk merencanakan dan menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang lebih mengkhawatirkan, penurunan kognitif ini tidak pandang bulu. Mau terinfeksi di awal pandemi, saat jenis Delta merebak, alias apalagi saat Omicron mendominasi, risikonya tetap sama. Ini membuktikan bahwa ancaman terhadap otak tidak berkurang seiring perkembangan virus.
Penelitian tersebut juga mengungkap kebenaran pahit lainnya. Mereka nan mengalami COVID-19 ringan dan sembuh pun tak luput dari ancaman. Mereka mengalami penurunan kognitif nan setara dengan penurunan IQ tiga poin! Bagi mereka nan mengalami indikasi berkepanjangan, seperti sesak napas alias kelelahan terus-menerus (Long COVID), penurunannya lebih parah lagi, mencapai enam poin IQ.
Bahkan, mereka nan dirawat di ICU lantaran COVID-19 menderita penurunan IQ hingga sembilan poin. Dan bagi nan terinfeksi ulang, siap-siap menghadapi penurunan IQ tambahan sebesar dua poin.
Sebuah studi terpisah nan melibatkan lebih dari 100.000 penduduk Norwegia dan diterbitkan dalam NEJM juga menguatkan temuan ini. Studi tersebut menemukan bahwa kegunaan memori memburuk hingga 36 bulan setelah terinfeksi SARS-CoV-2.
Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari
Foto: The Conversation
Bukti-bukti ini bukan sekadar nomor di atas kertas. Dampaknya sudah terasa di kehidupan nyata. Analisis terbaru dari Survei Populasi Terkini AS menunjukkan lonjakan drastis: 1 juta penduduk Amerika usia kerja melaporkan "kesulitan serius" dalam mengingat, berkonsentrasi, alias membikin keputusan setelah pandemi COVID-19, dibandingkan dengan 15 tahun sebelumnya. nan lebih mengejutkan, sebagian besar adalah orang dewasa muda berumur 18-44 tahun!
Data dari Uni Eropa pun menunjukkan tren nan serupa. Pada 2022, 15% orang di UE dilaporkan mengalami masalah memori dan konsentrasi.
Ke depan, kita perlu mengidentifikasi siapa nan paling berisiko. Kita juga perlu memahami gimana tren mengkhawatirkan ini dapat mempengaruhi pencapaian pendidikan anak-anak dan orang dewasa muda, serta produktivitas ekonomi. Apakah ini bakal memperburuk epidemi demensia dan Alzheimer tetap belum jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semakin banyaknya penelitian nan sekarang mengonfirmasi bahwa COVID-19 kudu dianggap sebagai virus nan berakibat signifikan pada otak. Implikasinya sangat luas, mulai dari perseorangan nan mengalami kesulitan kognitif hingga potensi dampaknya pada populasi dan ekonomi.
Untuk mengungkap penyebab sebenarnya di kembali gangguan kognitif ini, termasuk kabut otak, bakal memerlukan upaya berbareng selama bertahun-tahun, apalagi puluhan tahun, oleh para peneliti di seluruh dunia. Dan sayangnya, nyaris semua orang menjadi "kelinci percobaan" dalam penelitian dunia nan belum pernah terjadi sebelumnya ini. Jadi, tetap waspada, jaga kesehatan, dan jangan sepelekan COVID-19!
Simak Video "Video: Kemenkes Bantah Narasi Pandemi Covid-19 Sebagai Rekayasa Global"
[Gambas:Video 20detik]
(afr/afr)