Potensi Kepabeanan Dari Impor Barang Digital

Sedang Trending 1 bulan yang lalu

Jakarta -

Penikmat film, e-book, dan video game mungkin menyadari adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ketika membeli dari internet, terutama dari penyedia jasa internasional. Transaksi pembelian tersebut memang sudah dipungut pajak sejak 2022. Pada saat itu, pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemungutan PPN untuk transaksi nan dilakukan melalui sistem elektronik, ialah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.

Berdasarkan siaran pers Direktorat Jenderal Pajak pada November 2023, negara sudah menerima setoran PPN sebesar Rp 5,54 triliun selama 2023 dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Sesudah PPN, para pembeli peralatan digital, seperti film, e-book, dan video game, dari penyedia jasa internasional mungkin perlu bersiap jika pembeliannya juga dikenakan bea masuk.

Potensi bea masuk dikenakan atas impor peralatan digital mencuat dengan adanya niat baru dari World Trade Organization (WTO). Ministerial Decision nan diadopsi pada 2 Maret 2024 lampau mengemukakan pembahasan mengenai bea masuk peralatan digital. Ministerial Decision tersebut kembali menggerakkan Work Programme on Electronic Commerce. Pembahasan di dalamnya menyangkut perkembangan ekonomi digital terutama pada negara berkembang.

Pada akhir arsip tersebut, praktik tidak mengenakkan bea atas transmisi elektronik bakal berhujung pada 2026. Transmisi elektronik sudah tidak dikenakan bea selama lebih dari 20 tahun. Isu mengenai bea tersebut disebutkan pertama kali dalam The Geneva Ministerial Declaration on Global Electronic Commerce pada 1998. Work Programme on Electronic Commerce dibentuk untuk mengidentifikasi rumor perdagangan elektronik internasional nan berkembang saat itu.

Dalam deklarasi tersebutlah, transmisi elektronik tidak dikenakan bea masuk sebagaimana nan telah berlangsung. Menghadapi perkembangan perdagangan dan kepabeanan dunia, Indonesia perlu memperhatikan kesempatan mengenakan bea masuk atas peralatan digital. Beberapa perihal nan diperhatikan menyangkut tujuan dari bea masuk itu sendiri.

Barang Digital dalam Kepabeanan Indonesia

Transmisi elektronik memungkinkan beberapa peralatan bentuk dikirim secara digital. Banga (2019) mendapatkan perkiraan impor peralatan nan terdapat corak digital (digitizable goods) secara dunia pada 2017 mencapai USD 255 miliar. Sejumlah USD 139 miliar alias 55% dari impor peralatan tersebut dilakukan secara elektronik.

Pada tahun nan bakal datang, pertumbuhan impor peralatan digital secara elektronik diproyeksi meningkat. Peningkatan terjadi dari nomor USD 204 miliar pada 2020 menjadi USD 365 miliar pada 2025. Memang, digitalisasi peralatan tidak dapat dianggap pelan seiring perkembangan teknologi informasi.

Dalam peraturan perundang-undangan, Indonesia sebenarnya sudah mengakomodasi bea masuk nan dikenakan atas peralatan digital nan diimpor. Besaran tarif bea masuk untuk setiap peralatan ditentukan sesuai dengan Harmonized System Code (HS Code). Piranti lunak (software) dan peralatan digital lainnya nan ditransmisikan secara elektronik telah mendapatkan HS Code 99.01 melalui terbitnya PMK Nomor 17/PMK.03/2018.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tarif nan diberikan adalah 0% untuk HS Code 99.01. Barang nan termasuk ke dalam HS Code tersebut adalah piranti lunak sistem operasi (operating software), piranti lunak aplikasi (application software), multimedia nan termasuk audio, visual, maupun audio visual, dan info pendukung alias penggerak (driver) sistem permesinan. Di luar nan telah disebutkan, peralatan digital lainnya nan ditransmisikan secara elektronik dapat termasuk ke dalam HS Code tersebut.

Tentu, tarif 0% berfaedah secara efektif belum ada pengenaan bea masuk alias dibebaskan. Dengan begitu, kebijakan Indonesia tetap sejalan dengan kesepakatan WTO meskipun sudah mengatur tarif untuk peralatan digital.

Apa Untungnya Bea Masuk Barang Digital?

Dari segi penerimaan negara, bea masuk berangkaian dengan jumlah impor peralatan digital. Nilai dari impor tersebut tidak sedikit dan telah meningkat signifikan. Berdasarkan info Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, peningkatan terjadi dari USD 1,1 juta pada 2020 ke USD 56,2 juta pada 2021. Peralihan ke peralatan digital telah dideteksi dengan adanya selisih USD 1,39 miliar antara perkiraan impor peralatan bentuk dengan impor corak digitalnya pada periode 2010 sampai dengan 2020 (WTO, 2022).

Berdasarkan nomor tersebut, potensi impor nan dapat dikenakan bea masuk cukup signifikan dan dapat bertambah. Kerugian akibat kehilangan kesempatan mendapatkan potensi penerimaan tersebut dapat terjadi. Salah satu riset nan dilakukan Banga (2022) menyorot kerugian penerimaan nan dialami negara berkembang dari bea masuk peralatan digital. Kehilangan nan terjadi diperkirakan menembus USD 400 miliar pada 2025.

Seterusnya, negara berkembang setidaknya dapat kehilangan USD 25 miliar per tahun. Indonesia sendiri diestimasi telah kehilangan USD 112 miliar pada 2020 sebagai bagian dari negara berkembang. Namun, bea masuk tidak sebatas mencari penerimaan negara. Perlindungan peralatan dalam negeri menjadi salah satu tujuan bea masuk.

Diketahui, nyaris seluruh negara berkembang lebih banyak mengimpor peralatan nan ditransmisikan secara digital pada 2015 (UNCTAD, 2017). Hal ini menunjukkan produsen digitizable goods lokal belum bisa memenuhi pasar dalam negeri di negara berkembang.

Dalam corak fisiknya, barang-barang nan ditransmisikan secara elektronik umumnya adalah film, peralatan cetakan seperti kitab dan jurnal, bunyi dan media, software, dan video game (UNCTAD, 2017). Bea masuk dapat menjadi kesempatan memberi ruang pertumbuhan bagi pelaku upaya digital di dalam negeri. Produksi peralatan digital lokal kemudian diharapkan dapat bersaing dengan nan berasal dari luar negeri.

Konsumen di Indonesia sendiri menikmati produk-produk nan disalurkan secara internasional. Salah satu contoh nan dekat adalah jasa video-on-demand. Berdasarkan survei Populix (2022), kebanyakan menggunakan Netflix dan Disney+ dengan nomor masing-masing 69% dan 62%. Film nan dinikmati juga berasal dari beragam negara dengan kekuasaan asal Korea sebanyak 73% dan Amerika Serikat sebanyak 69% dari penonton. Akses terhadap jasa video-on-demand tersebut dapat kemudian terpengaruh nilai akibat bea masuk.

Mempersiapkan 2026 dan Seterusnya

Bea masuk atas digitizable goods alias peralatan digital nan ditransmisikan secara elektronik sudah di hadapan Indonesia. Peraturan perundang-undangan sebelumnya telah mengakomodasi bea masuk tersebut. Ketika bakal dikenakan bea masuk, penerimaan dari kepabeanan berpotensi ditingkatkan dari digitizable goods nan diimpor ke Indonesia. Mengawal perihal tersebut, otoritas kepabeanan di Indonesia dipersiapkan mengawasi lampau lintas peralatan digital nan tidak seperti pelabuhan alias bandar udara.

Implementasi perlu diperhatikan sehingga mengendalikan administrative cost dan menjamin kenyamanan importir melewati prosedur kepabeanan nan ada. Kejelasan dari peraturan nan menyangkut impor peralatan digital juga dipastikan mengenai penerapan terutama pengelompokkan peralatan digital. Tidak lupa, momen ini perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan masa depan industri digital Indonesia. Produsen peralatan digital lokal harapannya dapat bersaing lebih baik dengan adanya bea masuk atas impor.

Bertambahnya pungutan atas impor bagi konsumen di Indonesia tidak hanya mendatangkan penerimaan negara, tetapi berakibat pada industri lokal. Bea masuk tentu memberikan beban tersendiri bagi konsumen. Terutama, peralatan digital baru saja mulai dipungut PPN pada 2022 lalu. Dengan begitu, ada benarnya memastikan masyarakat sekarang dapat merasakan faedah dari kebijakan nan bakal datang, tanpa hanya memenuhi kebutuhan negara bakal penerimaan.

Fathi Khairi Agani mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

(mmu/mmu)

DOWNLOAD Link 1 Download Link 2 Download Link 3 Download Link 4